KONSEP DAN SANKSI PERSEKONGKOLAN MENURUT PERSPEKTIF UU NOMOR 5 TAHUN 1999
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dunia
usaha merupakan suatu dunia yang boleh dikatakan tidak dapat berdiri sendiri, Dunia Usaha adalah elemen penting dalam suatu
negara, sehingga negara tidak dapat berjalan dan maju tanpa adanya Dunia usaha
yang berkembang pesat dan efesien. Sehingga diperlukan adanya penciptaan
peraturan peraturan yang membatasi Dunia Usaha tersebut supaya dunia Usaha
tidak diwarnai dengan hal-hal tidak diinginkan, seperti adanya monopoli,
persaingan tidak sehat dan persekongkolam atau konspirasi usaha, yang sering
kali dianggap sebagai aktivitas yang dapat menghambat upaya pembangunan dan
merugikan negara, terutama
persekongkolan dalam tender.
Pemerintah
indonesia saat ini berusaha mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih,
sebagai upaya mewujudkan sistem tersebut, pemerintah menetapkan keputusan
Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
pemerintah. Yang bertujuan agar pengadaan barang-jasa diinstansi pemerintah
dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien dan diatur juga dalam
undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat[1].
Larangan
persekongkolan penawaran tender diatur dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 yang mana Mekanisme yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 5 1999
terhadap keputusan Presiden (Keppres) No 80 tahun 2003 merupakan ketentuan
normatif yang melarang pelaku usaha bersekongkol dengan pihak lain guna
mengatur dan atau menentukan pemenang tender yang dapat mengakibatkan
persaingan tidak sehat[2].
Praktik
Persekongkolan yang telah meluas di kalangan dunia usaha, terutama pelaku
usaha yang melakukan transaksi bisnis
dengan pemerintah melalui persekongkolan dalam kegiatan tender, Melemahnya
ekonomi Indonesia karena hutang dan anggaran belanja negara yang tidak efesien
karena disebabkan oleh persekongkolan dalam pengadaan barang dan jasa,
khususnya barang dan jasa pemerintah[3].
Mengingat
dampak yang ditimbulkan dari tindakan persekongkolan tender sangat signifikan
bagi pembangunan ekonomi nasional dan iklim persaingan yang sehat, pengaturan
masalah penawaran tender tidak hanya diatur dalam undang-undang tentang
pengadaan Barang dan Jasa, tetapi juga diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat[4].
Salah
satu subtansi UU Nomor 5 Tahun 1999 adalah Larangan terhadap persekongkolan
dalam kegiatan tender. Falsafah yang terkandung dalam kegiatan tender adalah
menciftakan perasaingan usaha yang sehat dan jujur. Dalam kegiatan tender,
melekat unsur moral dan etika, bahwa pemenang tender tidak dapat diatur, sehingga diperoleh harga terendah
melalui penawaran terbaik pemenang tender.
Sistem
pengadaan barang dan jasa pada umumnya menggunakan mekanisme penawaran yang
terbuka, sesuai dengan prinsip persaingan sehat. Penawarn tender yang
mengesampingkan prinsip tersebut akan mengakibatkan inifesiensi, tidak efektif,
non akuntabilitas serta tidak tepat sasaran yang dituju[5]. Oleh karena itu, dalam
proses tender harus mengedepankan prinsip keterbukaan, sehingga pelaku usaha
memperoleh akses tanpa diskriminasi atas pelaku usaha tertentu dalam
menjalankan sistem perekonomian. Salah satu aktivitas yang dilarang dalam
penawaran tender adalah persekongkolan penawaran tender[6].
Larangan
persekongkolan penawaran tender diatur dalam pasal 22 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999. Ketentuan tersebut mencakup penawaran pada Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dan perusahaan swasta. Penjelasan pasal 22 menyatakan, bahwa tender
adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan dan/atau untuk
pengadaan barang-barang atau penyediaan jasa[7]. Tender ditawarkan oleh
pengguna barang dan jasa kepada pelaku usaha yang memeliki kredibilitas dan
kapabilitas berdasarkan alasan efektifitas dan efisiensi[8] .
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
Uraian dari latar belakang diatas , maka perumusan masalah yang dibahas adalah:
1.
Bagaimana Konsep Persekongkolan Menurut Perspektif Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999?
2.
Bagaimanakah
Sanksi Terhadap
Pelaku Persaingan Usaha
Tidak Sehat
(Persekongkolan) menurut Undang-undang Nomor 5 tahun 1999?
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan
rumusan pokok masalah diatas maka tujuan dari penelitian yang penulis lakukan
ini yaitu sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui Konsep Persekongkolan Menurut Perspektif Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999
2.
Untuk mengetahui Sanksi Terhadap
Pelaku Persaingan Usaha
Tidak Sehat
(Persekongkolan) menurut Undang-undang Nomor 5 tahun 1999.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep
Persekongkolan Menurut Perspektif Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
Pengaturan hukum persaingan usaha di
Indonesia terdapat dalam beberapa
peraturan, yaitu :
a.
Undang-Undang Nomor.5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
b.
Keputusan Presiden
Nomor.75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan
Usaha.
c.
Keputusan Ketua Komisi
Pengawas Persaingan Usaha Nomor.05/KPPU/IX/2000
tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan Penanganan Dugaan Pelanggaran terhadap
Undang-Undang Nomor.5 Tahun
1999.
d.
Peraturan Mahkamah
Agung RI Nomor.01 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dan diganti
dengan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor.3 Tahun 2005
tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan
KPPU.
Sebelum diberlakukannya Undang – Undang Nomor 5
tahun 1999 tentang Larangan
Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia, terdapat ketentuan dalam
peraturan perundang—undangan yang dapat diterapkan terhadap praktek persaingan
usaha curang dan praktek monopoli yang dilakukan oleh seseorang / pelaku
usaha yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Ketentuan-ketentuan tersebut terdapat dalam
peraturan di bidang hukum perdata, hukum pidana maupun hukum yang menyangkut Hak
Atas Kekayaan Intelektual.
Sejak diundangkan dan diberlakukannya Undang – Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang
segala pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha diterapkanlah ketentuan-ketentuan
dalam Undang – Undang Nomor 5
Tahun 1999 tersebut. Bahwa secara yuridis
keberadaan dan pemberlakuan Undang –
Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagai undang-undang
khusus, sehingga sesuai asas Lex specialis, sepanjang telah diatur tersendiri
dalam Undang – Undang Nomor 5
Tahun 1999, maka ketentuan yang bersifat umum yang
terkandung dalam KUHPerdata dan Perundang-undangan lainnya yang menyangkut
hukum persaingan usaha maupun hukum acara perdata, tidak berlaku bagi
hukum persaingan usaha. Undang – Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat secara sistematika terdiri dari 10 bab
dan 53 pasal.
Secara tekhnis, dalam Undang – Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat telah mengatur
banyak hal, salah satunya adalah Masalah persekongkolan, dalam kaitannya
dilapangan, hal yang paling mendekati konsep Persekongkolan adalah dimulainya
dari sebuah proses tender, yaitu dalam Pasal 22 Undang – Undang Nomor 5
Tahun 1999 adalah tender atau tawaran mengajukan harga yang dapat dilakukan
melaui:
a.
Tender terbuka
b.
Tender terbatas
c.
Pelelangan umum
d.
Pelelangan terbatas
Dalam
pelaksanaan tender, peserta tender harus menempuh beberapa tahapan, yakni tahap
prakualifikasi dan pascakualifikasi.
Prakualifikasi adalah proses penilaian kompetensi dan kemampuan usaha serta
pemenuhan persyaratan tertentu lainnya dari penyedia barang dan/atau jasa
sebelum memasukkan penawaran[9]. Pascakualifikasi adalah
proses untuk melakukan kompetensi dan kemampuan usaha serta pemenuhan
persyaratan tertentu dan lainnya dari penyedia barang/jasa setelah memasukkan
penawaran.
Tender
yang bertujuan untuk memperoleh pemenang dalam iklim yang kompetitif harus terdiri dari dua atau lebih pelaku
usaha, sehingga ide dasar pelaksanaan tender berupa perolehan harga terendah
dengan kualitas terbaik dapat tercapai.
disisi lain, persekongkolan dalam kegiatan tender dapat mengakibatkan
terbentuknya tender kolusif yang bertujuan untuk meniadakan persaingan dan
menaikan harga[10].
Mekanisme
yang diberikan oleh Undang – Undang
Nomor 5
Tahun 1999 terhadap keputusan Presiden (Keppres) No 80 tahun 2003
merupakan ketentuan normatif yang melarang pelaku usaha bersekongkol dengan
pihak lain guna mengatur dan atau menentukan penenang tender yang dapat
mengakibatkan persaingan tidak sehat[11]. Larangan tersebut
mencakup proses pelaksanaan tender secara keseluruhan yang diawali dengan
prosedur perencanaan, pembukaan penawaran, sampai dengan penetapan Kepres Nomor
80 tahun 2003 meskipun Keppres tersebut tidak menempatkan Undang – Undang Nomor 5 tahun
1999 sebagai salah satu landasan Hukumnya[12].
Persekongkolan
selalu melibatkan lebih dari satu pelaku usaha, sehingga persekongkolan dibagi
atas 2, yaitu:
a.
Persekongkolan
horizontal. Yaitu tindakan kerja sama yang dilakukan oleh para penawar tender.
b.
Persekongkolan vertikal
yakni, kerja sama tersebut dilakukan antara penawar dengan panitia pelaksana
tender
B.
Sanksi Terhadap
Pelaku Persaingan Usaha Tidak Sehat (Persekongkolan) menurut Undang-undang Nomor 5 tahun 1999
Adapun
saksi dari Persekongkolan di dasarkan pada Pasal 47 sampai dengan 49 UU
Antimonopoli berupa [13]:
1.
Sanksi Administrasi:
Berdasarkan pasal 47 Ayat 2
2.
Sanksi Pidana Pokok,
berdasarkan Pasal 48 ayat 1
3.
Sanksi pidana tambahan,
berdasarkan pasal 49
Dengan
adanya UU tersebut maka dibentuklah Komisi
Pengawasan Persaingan usaha[14]
yang mana KPPU adalah lembaga yang akan menjadi penjaga tegaknya peraturan
persaingan, agar peraturan mengenai persaingan
dapat diberlakukan.
Jika terjadi pelanggaran harus dilakukan terlebih dahulu diproses melalui KPPU,
tugas KPPU dapat diserahkan kepada penyidik kepolisian kemudian dilanjutkan ke
Pengadilan, jika pelaku usaha tidak bersedia menjalankan putusan KKPU[15].
Sanksi
yang dapat dijatuhkan dalam perkara perdata dapat berbentuk pembatalan
perjanjian, membayar denda atau mebayar ganti kerugian dan sebagainya yang
intinya adalah membayar sejumlah uang, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1365
KUH Perdata, bahwa “Tiap perbuatan melanggar hokum, yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut.”
Terhadap
perkara persaingan usaha tidak sehat sebagaimana yang digariskan dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, menetapkan dua macam sanksi yakni sanksi
administratif dan sanksi pidana.
Sanksi
administratif dijelaskan dalam Pasal 47 ayat (2) yang menyatakan bahwa:
a.
Penetapan pembatalan
perjanjian-perjanjian yang dilarang undang-undang ini;
b.
Perintah kepada pelaku
usaha untuk menghentikan integrasi vertikal;
c.
Perintah untuk
menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktik monopoli dan/atau
menyebabkan persaingan usaha tidak sehat;
d.
Perintah untuk
menghentikan penyalahgunaan posisi dominan;
e.
Penetapan pembatalan
atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham;
f.
Penetapan pembayaran
ganti rugi;
g.
Pengenaan denda
serendah-rendahnya satu miliar rupiah dan setinggi-tingginya dua puluh lima
miliar rupiah.[16]
Sedangkan
sanksi pidana tetap berada di tangan pejabat penegak hukum umum, yaitu
kepolisian sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut, dan hakim untuk
mengadilinya. Jadi, sungguhpun telah ada komisi yang dibentuk berdasarkan UU
No.5 Tahun 1999, tetapi hanya bertugas sebatas administratif saja, komisi
pengawas tidak mempunyai kewenangan dalam bidang hukum pidana.
Komisi
bisa menyerahkan kepada penyidik untuk melakukan penyidikan jika pelaku usaha
tidak menjalankan putusan komisi berupa sanksi administratif. Serta pelaku
usaha menolak untuk diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan
dalam penyelidikan dan/atau pemeriksaan, atau menghambat proses penyelidikan
dan/atau pemeriksaan. Putusan komisi merupakan bukti permulaan yang cukup bagi
suatu penyelidikan perkara pidana.[17]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Secara tekhnis, dalam Undang – Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat telah mengatur
banyak hal, salah satunya adalah Masalah persekongkolan, dalam kaitannya
dilapangan, hal yang paling mendekati konsep Persekongkolan adalah dimulainya
dari sebuah proses tender, yaitu dalam Pasal 22 Undang – Undang Nomor 5
Tahun 1999 adalah tender atau tawaran mengajukan harga yang dapat dilakukan
melaui:Tender terbuka, Tender terbatas, Pelelangan
umum,
Pelelangan terbatas.
2. Saksi
dari Persekongkolan di dasarkan pada Pasal 47 sampai dengan 49 UU Antimonopoli
berupa.Sanksi Administrasi:
Berdasarkan pasal 47 Ayat 2 , Sanksi Pidana Pokok,
berdasarkan Pasal 48 ayat 1 dan Sanksi
pidana tambahan, berdasarkan pasal 49
B.
Saran
Diharapkan kepada pembuat undang-undang untuk memberikan sanksi yang
tegas terhadap persekongkolan dalam pelaksanaan PersainganUsaha
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum
Bisnis Anti Monopoli, ( Jakarta : Raja Grafinda, 1999)
Andi Fahmi Lubis, dkk. Hukum Persaingan Usaha antara teks dan
konteks, (Jakarta: ROV
Creativ Media, 2009).
A.M. Tri Anggraini, Persekongkolan tender pemerintah kian parah, (Suara Karya, 17 oktober 2001)
Abdul Hakim G. Nusantara, Litigasi Persaingan Usaha ,(Jakarta:
Telaga Ilmu Indonesia,2010).
Aris Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta:
Ghalia
Indonesia, 2002)
Black’s Law Dictionary, Fifth Edition
(St. Paul Minn, West Publishing,
1979)
Hermansyah, Pokok-pokok hukum persaingan usaha di indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group,
2008).
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003,
LN Nomor 120 Tahun 2003
Mustafa Kamal
Rokan, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2010)
Ningrum N. Sirat, Hukum Persaingan di indonesia: UU No.5/1999 tentang larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
(Medan: Pustaka Bangsa
Press,2004)
Rachmadi
Usman,.Hukum Persaingan Usaha di
Indonesia, ( Jakarta:Gramedia
Pustaka Utama. 2004.
Zahirman zabir, Jasa Kontruksi Dalam Hukum Bisnis, (Suatu Analisis Hukum Pertsaingan
dan Monopoli, (Pekanbaru-Riau:
Zahirman Zabir & Assocaties, 2004).