RSS

DEKLARASI UNIVERSAL


                                                       
                                         Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB
                                    pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III)
Mukadimah
Menimbang, bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia,

Menimbang, bahwa mengabaikan dan memandang rendah hak-hak manusia telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan hati nurani umat manusia, dan terbentuknya suatu dunia tempat manusia akan mengecap nikmat kebebasan berbicara dan beragama serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita yang tertinggi dari rakyat biasa,

Menimbang, bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi dengan peraturan hukum, supaya orang tidak akan terpaksa memilih jalan pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kelaliman dan penjajahan,

Menimbang, bahwa pembangunan hubungan persahabatan di antara negara-negara perlu ditingkatkan,

Menimbang, bahwa bangsa-bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menegaskan kembali kepercayaan mereka pada hak-hak dasar dari manusia, akan martabat dan nilai seseorang manusia dan akan hak-hak yang sama dari laki-laki maupun perempuan, dan telah memutuskan akan mendorong kemajuan sosial dan tingkat hidup yang lebih baik dalam kemerdekaan yang lebih luas,

Menimbang, bahwa Negara-negara Anggota telah berjanji untuk mencapai kemajuan dalam penghargaan dan penghormatan umum terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebesan yang asasi, dalam kerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa,

Menimbang, bahwa pemahaman yang sama mengenai hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut sangat penting untuk pelaksanaan yang sungguh-sungguh dari janji tersebut,
maka dengan ini,

Majelis Umum, Memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai suatu standar umum untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar setiap orang dan setiap badan di dalam masyarakat, dengan senantiasa mengingat Deklarasi ini, akan berusaha dengan cara mengajarkan dan memberikan pendidikan guna menggalakkan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut, dan dengan jalan tindakan-tindakan yang progresif yang bersifat nasional maupun internasional, menjamin pengakuan dan penghormatannnya yang universal dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari Negara-negara Anggota sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari wilayah-wilayah yang ada di bawah kekuasaan hukum mereka. 

Pasal 1
Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.

Pasal 2
Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.
Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilyah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.

Pasal 3
Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai induvidu.

Pasal 4
Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apa pun mesti dilarang.

Pasal 5
Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dikukum secara tidak manusiawi atau dihina.

Pasal 6
Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.

Pasal 7
Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini.

Pasal 8
Setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif dari pengadilan nasional yang kompeten untuk tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar atau hukum. 

Pasal 9
Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang.

Pasal 10
Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya.

Pasal 11
(1) Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan yang terbuka, di mana dia memperoleh semua jaminan yang perlukan untuk pembelaannya.
(2) Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan tindak pidana karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu tindak pidana menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada hukum yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran pidana itu dilakukan.

Pasal 12
Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya atau hubungan surat menyuratnya dengan sewenang-wenang; juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran seperti ini.

Pasal 13
(1) Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam batas-batas setiap negara.
(2) Setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk negerinya sendiri, dan berhak kembali ke negerinya.

Pasal 14
(1) Setiap orang berhak mencari dan mendapatkan suaka di negeri lain untuk melindungi diri dari pengejaran.
(2) Hak ini tidak berlaku untuk kasus pengejaran yang benar-benar timbul karena kejahatan-kejahatan yang tidak berhubungan dengan politik, atau karena perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pasal 15
(1) Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan.
(2) Tidak seorang pun dengan semena-mena dapat dicabut kewarganegaraannya atau ditolak hanya untuk mengganti kewarganegaraannya.

Pasal 16
(1) Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian.
(2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai.
(3) Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan Negara.

Pasal 17
(1) Setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain.
(2) Tidak seorang pun boleh dirampas harta miliknya dengan semena-mena.

Pasal 18
Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaann dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.

Pasal 19
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.

Pasal 20
(1) Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat tanpa kekerasan.
(2) Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan.

Pasal 21
(1) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
(2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negeranya.
(3) Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara.

Pasal 22
Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, berhak atas jaminan sosial dan berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang sangat diperlukan untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya, melalui usaha-usaha nasional maupun kerjasama internasional, dan sesuai dengan pengaturan serta sumber daya setiap negara.

Pasal 23
(1) Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan menguntungkan serta berhak atas perlindungan dari pengangguran.
(2) Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama.
(3) Setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang adil dan menguntungkan, yang memberikan jaminan kehidupan yang bermartabat baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika perlu ditambah dengan perlindungan sosial lainnya.
(4) Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.

Pasal 24
Setiap orang berhak atas istirahat dan liburan, termasuk pembatasan-pembatasan jam kerja yang layak dan hari liburan berkala, dengan tetap menerima upah.

Pasal 25
(1) Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya.
(2) Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa. Semua anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama.

Pasal 26
(1) Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang, berdasarkan kepantasan.
(2) Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta untuk mempertebal penghargaan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar. Pendidikan harus menggalakkan saling pengertian, toleransi dan persahabatan di antara semua bangsa, kelompok ras maupun agama, serta harus memajukan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam memelihara perdamaian.
(3) Orang tua mempunyai hak utama dalam memilih jenis pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak mereka.

Pasal 27
(1) Setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dengan bebas, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan.
(2) Setiap orang berhak untuk memperoleh perlindungan atas keuntungan-keuntungan moril maupun material yang diperoleh sebagai hasil karya ilmiah, kesusasteraan atau kesenian yang diciptakannya.

Pasal 28
Setiap orang berhak atas suatu tatanan sosial dan internasional di mana hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang termaktub di dalam Deklarasi ini dapat dilaksanakan sepenuhnya.

Pasal 29
(1) Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat tempat satu-satunya di mana dia dapat mengembangkan kepribadiannya dengan bebas dan penuh.
(2) Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
(3) Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dengan jalan bagaimana pun sekali-kali tidak boleh dilaksanakan bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pasal 30
Tidak sesuatu pun di dalam Deklarasi ini boleh ditafsirkan memberikan sesuatu Negara, kelompok ataupun seseorang, hak untuk terlibat di dalam kegiatan apa pun, atau melakukan perbuatan yang bertujuan merusak hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang mana pun yang termaktub di dalam Deklarasi ini.
readmore »»  
0 komentar

Posted in

REALISME HUKUM, By: M. Alpi Syahrin, dkk


  1. Latar Belakang Lahirnya Realisme Hukum
       Gerakan critical legal studies, yang semula merupakan keluh kesah dari beberapa pemikir hukum di Amerika Serikat yang kritis, tanpa disangka ternyata begitu cepat gerakan ini nenemukan jati dirinya dan telah menjadi suatu aliran tersendiri dalam teori dan filsafat hukum. Dan ternyata pula bahwa gerakan ini berkembang begitu cepat ke berbagai negara dengan kritikan dan buah pikirnya yang cukup segar dan elegan. 
       Sebagaimana biasanya suatu aliran dalarn filsafat hukurn, maka aliran realisme hukum juga lahir dengan dilatarbelakangi oleh berbagai faktor hukum dan nonhukum, yaitu faktor-faktor sebagai berikut:
       1. Faktor perkembangan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan
       2. Faktor perkembangan sosial dan politik.
     Walaupun begitu, sebenarnya aliran pragmatism dari William James dan John Dewey itu sendiri sangat berpengaruh terhadap ajaran dari Roscoe Pound dan berpengaruh juga terhadap ajaran dari Oliver Wendell Holmes meskipun tidak sekuat pengaruhnya terhadap ajaran dari Roscoe Pound.
       Pengaruh dari aliran fragmatisme dalam filsafat sangat terasa dalam aliran realisme hukum. Sebagaimana diketahui bahwa kala itu (awal abad ke-20), dalam dunia filsafat sangat berkembang ajaran pragmatisme ini, antara lain yang dikembangkan dan dianut oleh William James dan John Dewey. Bahkan, dapat dikatakan bahwa pragmatisme sebenarnya merupakan landasan filsafat terhadap aliran realisme hukum. Dalam tulisan – tulisan dari para penganut dan inspirator aliran realisme hukum, seperti tulisan d.ari Benjamin Cardozo atau Oliver Wendell Holmes, sangat jelas kelihatan pengaruh dari ajaran pragmatisme hukum ini.
     Hubungan antara aliran realisme hukurn dan aliran sosiologi hukum ini sangat unik. Di satu pihak, beberapa fondasi dari aliran sosiologi hukum mempunyai kemiripan atau overlapping, tetapi di lain pihak dalam beberapa hal, kedua aliran tersebut justru saling berseberangan. Roscoe Pound, yang merupakan penganut aliran sociological jurisprudence, merupakan, salah satu pengritik terhadap aiiran realisme hukum. Akan tetapi, yang jelas, sesuai dengan namanya, aliran realisme hukum lebih aktual dan memiliki program-program yang lebih nyata dibandingkan dengan aliran sociological jurisprudence (hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup  di antara masyarakat. Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law) dengan hukum yang hidup (the living law).
         Bagaimanapun juga, hukum mengatur kepentingan masyarakat. Karena itu, tentu saja, peranan hukum dalam’masyarakat yang teratur seharusnya cukup penting. Tidak bisa dibayangkan betapa kaeaunya masyarakat jika hukurn tidak berperan. Masyarakat tanpa hukum akan merupakan segerombolan serigala, di mana yang kuat akan memangsa yang lemah, sebagaimana pernah disetir oleh ahli pikir terkemuka, yaitu Thomas Hobbes beberapa ratus tahun yang silam. Homo Homini Lupus. Dan, yang kalah bersaing dan fidak bisa beradaptasi dengan perkembangan alam akan tersisih dan dibiarkan tersisih, sebagaimana disebut oleh Charles Darwin dalam teori seleksi alamnya (natural selection), di mana yang kuat yang akan survive (the fittest of survival). Karena itu, intervensi hukurn untuk mengatur kekuasaan dan masyarakat merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak), Dalam hal ini, hukum akan bertugas untuk mengatur dan membatasi bagaimana kekuasaan manusia tersebut dijalankan sehingga tidak menggilas orang’lain yang tidak punya kekuasaan.
      Dunia akan kacau seandainya hukum tidak ada, tidak berfungsi atau kurang berfungsi. Ini adalah suatu kebenaran yang telah terbukti dan diakui bahkan sebelum manusia mengenal peradaban sekalipun. Mengapa masyarakat Amerika Serikat sampai membenarkan pengiriman putra-putra bangsanya untuk bergerilya dan mempertaruhkan nyawanya di hutan tropis dan rawa – rawa dalarn Perang Vietnam pada awal dekade 1960-an, Mengapa kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana, Dan yang lebih penting lagi, mengapa semua masalah tersebut dan luluh lantak seperti itu terjadi pada abad ke-20 ini, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi sedang mengkiaim dirinya berada di puncak kemajuannya di atas menara gading itu, Semua ini memperlihatkan.dengan jelas betapa ilmu hukum dan ilmu sosial serta ilmu budaya sudah gagal dan lumpuh sehingga sudah tidak dapat menjalankan fungsinya lagi sebagai pelindung dan pemanfaat terhadap peradaban dan eksistensi manusia di bumi ini.
     Karena itu, dalam bidang ilmu nonsains, bahkan juga kemudian dalam ilmu sains itu sendiri, terdapat gejolak – gejolak dalam bentuk pembangkangan, yang semakin lama tensinya semakin tinggi. Gejolak tersebut yang kemudian mengkristal menjadi protes yand akhirnya melahirkan aliran baru dengan cara pandang baru terhadap dunia, manusia, dan masyarakat dengan berbagai atributnya itu. Karena sains juga mempunyai watak “anarkis”, maka pada awal mulanya setiap pembangkangan dianggap sebagai konsekuensi dari perkembangan sains sehingga pembangkangan tersebut dianggap wajar-wajar saja.
  1. Pengertian Teori hukum realis atau legal realism
Oliver wendel Holmes Menyatakan bahwa “The life of the law has not been logic: it has been experience”. Dengan konsep bahwa hukum bukan lagi sebatas logika tetapie perience, maka hukum tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai, serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum.
Menurut Bernard L.T ; teori-teori yang berada dalam payung realisme hukum, sesungguhnya berinduk pada empirisme yang oleh David Hume dipatrikan sebagai pengetahuan yang bertumpu pada kenyataan empiris. Empirisme namun menolak pengetahuan spekulatif yang hanya mengandalkan penalaran logis rasionalisme abad ke-18. Ide-ide rasional, menurut empirisme, bukanlah segala-galanya. Ia tidak bisa diandalkan sebagai sumber kebenaran tunggal. Ide-ide itu perlu dipastikan kebenarannya dalam dunia empiris.
  1. Konsep Pemikiran Realisme Hukum
        Paham realisme hukum memandang hukum sebagaimana seorang advokat memandang hukum. Bagi seorang advokat, yang terpenting dalam memandang hukum adalah bagaimana. memprediksikan hasil dari suatu proses hukum dan bagaimana masa depan dari kaidah hukum tersebut. Karena itu, agar dapat memprediksikan secara akurat atas hasil dari suatu putusan hukum, seorang advokat haruslah juga mempertimbangkan putusan-putusan hukum pada masa lalu untuk kemudian memprediksi putusan pada masa yang akan datang.
       Para penganut aliran critical legal studies telah pula bergerak lebih jauh dari aliran realisme hukurn dengan mencoba menganalisisnya dari segi teoretikal-sosial terhadap politik hukum. Dalarn hal ini yang dilakukannya adalah dengan menganalisis peranan dari mitos “hukurn yang netral” yang melegitimasi setiap konsep hukum, dan dengan menganalisis bagaimana sistern hukurn mentransformasi fenomena sosial yang sarat dengan unsur politik ke dalam simbol-simbol operasional yang sudah dipolitisasi tersebut. Yang jelas, aliran critical legal studies dengan tegas menolak upaya-upaya dari ajaran realisme hukum dalam hal upaya aliran realisme hukum untuk memformulasi kembali unsur “netralitas” dari sistern hukum.
      Seperti telah dijelaskan bahwa aliran realisme hukum ini oleh para pelopornya sendiri lebih suka dianggap sebagai hanya. sebuah gerakan sehingga mereka. menyebutnya sebagai “gerakan” realisme hukum (legal realism movement). Nama populer untuk aliran tersebut memang “realisme hukum” (legal realism) meskipun terhadap aliran ini pernah juga diajukan nama lain seperti: Functional Jurisprudence. Experimental Jurisprudence. Legal Pragmatism. Legal Observationism. Legal Actualism. Legal Modesty Legal Discriptionism. Scientific Jurisprudence. Constructive Scepticism.

D.    Aliran Realisme

            Realisme sendiri bercabang dua, yakni

1.      American Realism

Gerakan realisme di amerika adalah merupakan reaksi terhadap aliran positivism. Realisme amerika serikat adalah merupakan pendekatan secara pragmatis dan behaviouritis terhadap lembaga-lembaga social, aliran realisme ini menekankan hukum sebagai law in action dan menganggap hukum itu sebagai pengalaman, sumber hukum dalam aliran realism ini adalah putusan hakim.
Tokoh-tokoh dalam aliran realisme di amerika adalah oliver wendell holmes, john dewey, jerome frank, k. Llewellyn, axel hagerstrom, w twinning, jerome frank. Aliran realisme dibagi kedalam dua kelompok :
a.       Rule Skeptics, dimana ketidakpastian hukum itu timbul akibat dari peraturan yang tertulis dan penerapan hukum yang mengutamakan keseragaman.
b.      Factskeptics, memandang bahwa ketidakpastian hukum itu berasal dari Hakim yang mengambil keputusan hukum berdasarkan fakta-fakta.
Ciri-Ciri Realisme Menurut K Llewellyn:
a.       Realisme Tidak Mengakui Adanya Suatu Mazhab Realisme
b.      Realisme Adalah Konsep Hukum Yang Terus Berubah
c.       Realisme Berpokok Pangkal Pada Pemisahan Das Sain Dan Das Sollen
d.      Realisme Tidak Menggantungkan Putusan- Putusan Pada Peraturan Dan Pengertian Hukum Tradisional
e.       Gerakan Realisme Berpendirian Bahwa Setiap Hukum Harus Memperhatikan Akibat Dari Hukum.
Jerome frank juga membuat tulisan yang terdiri dari;
1.      Law and the modern mind : suatu peratuan mengandung suatu yang tetap dan prinsip- prinsip hukum yang selalu baik dan benar yang dapat digunakan sebagai acuan dalam memutuskan suatu perkara namun tidak selamanya peraturan perundang- undangan itu lengkap dan dapat menyelesaikan permasalahan hokum.
2.      Courts on trial : dalam tulisannya ini frank mempersoalkan pemeriksaan perkara di pengadilan dengan menggunakan metode pemikiran common law traditional.
W. Holmes (dalam bukunya path of the law), Holmes memberikan suatu gagasan tentang hukum yang didasarkan pada pengalaman dan holmes meragukan peranan logika, dia mengatakan keseluruhan logis hukum adalah hasil dari konflik pada setiap tingkat diantara logika dan pengertian yang baik dan usaha-usaha untuk mendapatkan hasil yang konsisten, dugaan-dugaan tentang apa yang akan diputuskan oleh pengadilan itulah yang disebut sebagai hukum. (pendapat Holmes ini lah yang yang secara tepat menggambarkan bahwa pemikiran aliran realisme di amerika pragmatis).
K llewellyn dalam bukunya “some realism about realism “ llewellyn menyimpulkan bahwa :
1.      Hukum itu selalu berubah-ubah
2.  Memahami bahwa Hukum adalah alat untuk mengakhiri sengketa-sengketa yang ada di masyarakat
3.      Masyarakat selalu berubah-ubah dan perubahan lebih cepat dari hokum
4.      Pemisahan anatar in dan out
5.    Konsep pemikiran hukum yang lama sudah tidak sesuai lagi, Prinsip-prinsip hukum dan ketentuan hukum disesuaikan dengan kenyataan yang ada di masyarakat.
6.      Membuat suatu pedoman terhadap praktek-praktek masa lalu untuk dapat menjadi pedoman dalam menghadapi kasus yang sedang berjalan dimasa sekarang

2.      Scandinavian Legal Realism
Aliran ini berkeyakinan bahwa hukum hanya bisa dijelaskan melalui fakta- fakta yang bisa diobservasi, dan studi tentang fakta ini –yang disebut dengan ilmu pengetahuan hukum- karenanya merupakan sebuah ilmu pengetahuan sebagaimana ilmu pengetahuan lain yang peduli dan memfokuskan diri pada fakta dan kejadian dalam hubungan sebab-akibat. Oleh karena itu, keyakinan tentang kekuatan mengikat, kebenaran hukum, eksistensi hak dan kewajiban, keyakinan tentang hak property dipisahkan dari khayalan dan dunia metafisika.
Bagi Olivecrona, aturan hukum merupakan “perintah yang independen” yang termanifestasikan dalam bentuk perintah, namun tidak seperti perintah yang berasal dari seseorang. Hukum termanifestasikan dalam “rasa” dari rangkaian kalimat dalam Undang-Undang, dan ditangkap oleh alam pikiran manusia dan selanjutnya mempengaruhi tingkah laku manusia. Lundstedt menambahkan bahwa aturan hukum hanyalah sebuah prosedur untuk mencapai tujuan tertentu (dalam hal ini adalah kesejahteraan sosial). Lundstedt memandang bahwa hak dan kewajiban hanyalah merupakan konklusi hukum. Dia mencontohkan bahwa hak atas property sebenarnya hanyalah tiadanya resiko hukum bagi pemilik property untuk melakukan tindakan- tindakan atas properti tersebut. Dengan demikian, property right tidak muncul dari das sollen, melainkan dari das Sein.
Menurut Olivecrona, kinerja sistem hukum tidaklah mistis, atau didasarkan pada enititas yang fiktif, misalnya negara atau sifat mengikat dari hukum. Dia beranggapan bahwa hukum diproduksi oleh sekumpulan orang yang berada dalam sebuah organisasi negara yang mampu menjalankan hukum melalui kekuatan pemaksa yang dimilikinya, dan sekumpulan orang di lembaga legislatif yang dapat menghadirkan tekanan psikologis terhadap masyarakat..
Dalam pemikiran aliran Skandinavia, gagasan-gagasan moral sebenarnya dibentuk oleh hukum. Hukum menjadi faktor utama yang mempangaruhi standard moral, terutama karena kemampuannya untuk menggunakan kekuatan untuk menegakkanya. Teori ini memang sangat rentan untuk diperdebatkan, terutama jika dipertanyakan tentang mana yang lebih dulu hadir, apakah moral ataukah hukum.
Kebanyakan kelompok realis mendukung konsep legal ideology atau method of justice dengan menyandarkan diri pada tujuan material hukum, mengutamakan sistem hukum yang aktual, sehingga menolak aspek metafisika, atau penggunaan hukum alam atau nilai keadilan sebagai parameter penilaian objective, karena menurut aliran realis, sebuah penilaian pastilah subjectif. Bagi Lundstedt, jurisprudence haruslah berdasarkan observasi atas fakta, bukannya berdasarkan atas penilaian individual atau metafisika.
  1. Perbedaan Realisme Amerika & Skandinavia Realisme
 Amerika lebih memfokuskan diri pada kerja praktis untuk mengkaji proses hukum, berbeda dengan Realisme Skanidnavia yang lebih berfokus kepada operasi teoritis atas sistem hukum secara keseluruhan.
 Skandinavia memang merepresentasikan aliran empiris yang ekstrem, namun Amerika justru yang paling depan dalam menekankan pentingnya studi faktual dalam rangka mencari solusi atas problem hukum. Skandinavia tampak lebih mengandalkan pada argumen apriori dalam menemukan solusi atas problem hokum.
 Gerakan Realisme Skandinavia dipengaruhi oleh tradisi filsafat Eropa, sedangkan realisme Amerika lebih dipengaruhi oleh karakter empirisme Inggris.



Daftar pustaka

Fery Sujarman Blog; http://sujarman81.wordpress.com/2011/08/26/teori-hukum-realis-atau-legal-realism/, diakses pada: hari rabu, 07 Maret 2012, Pukul 20 :32 WIB


Munir Fuadi; Filsafat dan teori Hukum Post Modern, diambil di http://lovetya.wordpress.com/2008/12/14/filsafat-hukum-resume-buku-filsafat-dan-teori-hukum-post-modern-dr-munir-fuady-sh-mh-llm/, diakses pada hari rabu, 07 maret 2012, Pukul 20:56 WIB


readmore »»  
1 komentar

Posted in

REFORMASI BIROKRASI BUKAN MIE INSTAN!!


Reformasi, jika 13 tahun yang lalu adalah kata super dan sakti  yang bermakna perubahan, tentunya perubahan kearah yang lebih baik, yang dinginkan oleh masyarakat menengah kebawah pada umumnya untuk mendapatkan sebuah kebebasan dan kehidupan yang lebih layak dan manjanjikan. Nampaknya reformasi seakan kehilangan sakti dan supernya, sehingga hari ini, kata – kata reformasi tak lebih baik dari kata – kata “orde baru” yang menandakan orde atau masa yang dibuat  dalam pola fikir masyarakat akan membawa kebaikan dan perubahan.
     Reformasi tidaklah sama dengan liryk sebuah lagu yang berjudul Kepompong, yang salah satu kata – katanya adalah; Hal yang tak mudah berubah jadi indah. tentunya semua element masyarakat menginginkan perubahan Mindset dan prilaku yang berkaitan dengan determinan kebiasaan yang telah dibangun berpuluh tahun, terlebih pada tataran Birokrasi, makanya sering kita dengan mesti ada yang namanya reformasi Birokrasi.
    Reformasi Birokrasi adalah membicarakan tataran Demokrasi dalam pemerintahan dan menjalankan ketatanegaraan yang baik. Pengembangan demokrasi dan pemerintahan yang efektif adalah suatu tugas yang maha berat yang coba dilakukan, namun sangat banyak kendala yang dihadapi yang telah menjadi rahasia umum, ketidakmampuan Administrasi Pemerintahan, Munculnya kesenjangan Antar daerah, merebaknya kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme mulai dari Pusat sampai ketingkat daerah yang seperti sebuah Gunung Es, sehingga Muncullah nada pesimis untuk melanjutkan dan menata demokrasi.
    Reformasi melalui perombakan struktur sangat penting, sejauh ini pemerintah telah mengupayakan kebijakan di bidang restrukturisasi seperti penataan kelembagaan, akan tetapi reformasi struktur saja tidak cukup untuk meningkatkan kinerja Birokrasi. Hal yang dirasakan sangat berat tetapi sangat jarang dilakukan dalam reformasi birokrasi adalah bagaimana merombak mindset Birokrat. Dalam manajemen, “ Transformasi perubahan Kultural (Nilai – nilai dan perilaku) jauh lebih penting dan mendasar daripada Perubahan Tekhnikal.
      Timbullah sebuah pertanyaan yang pokok dan mendasar tentang bagaimana menata dan mengarahkan demokrasi  ini dengan sebenarnya, sebuah pertanyaan yang sederhana namun susah untuk dijawab. Ternyata pada awalnya para pakar juga tidak bisa memastikan apakah reformasi ini akan benar – benar akan membawa kearah yang lebih baik atau sebaliknya, seorang pengamat mengatakan bahwa pada masa – masa awal lahirnya reformasi di Indonesia, diibaratkan bangsa ini dalam keadaan sakit keras, untuk menyelamatkannya opsi terakhir adalah dengan membawa ke Dokter, kalau tidak mau dibawa kedokter maka hanya satu kemungkinan, yaitu nyawanya tidak bisa diselamatkan, namun apabila dibawa ke dokter maka ada dua kemungkinan, yaitu mati atau dapat diselamatkan. Lalu sekarang ini setelah adanya reformasi (Dokter), apakah menuju mati, stagnan atau menuju kepada kesembuhan?
                Dengan berbagai permasalahan bangsa yang bertumpuk – tumpuk dan penuh dengan komplikasi, mengharapkan hasil yang instan memang tidaklah mungkin. Telalu sulit untuk mendatangkan perbaikan kepada kesejahteraan rakyat dalam tempo yang singkat. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah kecerdasan untuk melahirkan langkah dan kebijakan yang efektif. Maka harus disadari bahwa masyarakat yang dalam kondisi tekanan hidup memang mudah kecewa oleh hasil kerja yang super Instan. Tetapi harapan tetap bisa ditumbuhan terus dengan keyakinan bahwa badai itu pasti berlalu.

*mari membangun (Tetap optimis ditengah keterpurukan bangsa)
*M. Alpi Syahrin
readmore »»  
0 komentar

Posted in

PENGARUH TEORI POSITIVISME TERHADAP PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN DI INDONESIA;By; M. Alpi Syahrin,dkk



BAB I
PENDAHULUAN

  1. A.    Latar Belakang
Hukum dalam arti luas meliputi keseluruhan aturan normatif yang mengatur dan menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan didukung oleh sistem sanksi tertentu terhadap setiap penyimpangan terhadapnya. Bentuk-bentuk aturan normatif seperti itu tumbuh sendiri dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan bernegara ataupun sengaja dibuat menurut prosedur-prosedur yang ditentukan dalam sistem organisasi kekuasaan dalam masyarakat yagn bersangkutan. Makin maju dan kompleks kehidupan suatu masyarakat, makin berkembang pula tuntutan keteraturan dalam pola-pola perilaku dalam kehidupan masyarakat.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan, UUD 1945 menegaskan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. prinsip ini semula dimuat dalam penjelasan, yang berbunyi “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machsstaat)”  disamping itu, ada prinsip lain yang erat dengan prinsip negara hukum yang juga dimuat dalam penjelasan “Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).” Prinsip ini mengandung makna ada pembagian kekuasaan negara dan pembatasan kekuasaan (tidak absolut dengan kekuasaan tidak terbatas). Dengan ketentuan ini, maka dasar sebagai negara berdasarkan atas hukum mempunyai sifat normatif bukan sekedar asas belaka.
Berdasarkan tata kehidupan hukum di Indonesia, teori hukum yang berpengaruh kuat terhadap konsep-konsep dan implementasi hukum di Indonesia adalah teori hukum positivisme. Positivisme hukum dikenal sebagai suatu teori hukum yang menganggap bahwa pemisahan antara hukum dan moral,[1] merupakan hal yang teramat penting. Dalam teori ini hukum dibuat oleh penguasa seperti peraturan perundang-undangan.
Untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[2] Pembentukan pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.
B.     Perumusan Masalah
            Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam makalah ini yaitu :
  1. Bagaimana Pandangan Aliran Positivisme Terhadap Hukum?
  2. Bagaimana Kebijakan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia?
C.    Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
  1. Untuk mengetahui pandangan aliran positivism terhadap hukum.
  2. Untuk mengetahui kebijakan pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
  3. Penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan wawasan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang teori hukum.
            Sedangkan yang menjadi manfaat yang hendak diperoleh dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
  1. Penulisan makalah ini bermanfaat untuk menambah dan memperluas pengetahuan tentang pandangan positivisme terhadap hukum dan kebijakan pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia..
  2. Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberi sumbangan karya penulis bagi ilmu hukum khusunya dalam bidang teori hukum.
  3. Penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan wawasan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang teori hukum.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pandangan Aliran Postivisme Terhadap Hukum
            Sebelum lahirnya aliran ini telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum dikenal sebagai Legisme. Pemikiran hukum ini berkembang semenjak abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia. Aliran ini mengidentikan hukum dengan undang-undang. Tidak ada hukum di luar undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Di Jerman pandangan ini banyak dianut dan dipertahankan oleh msialnya Paul Laband, Jellinek, Rudolf van Jhering, Hans Nawiasky, Hans Kelsen dan lain-lain.
            Di negeri Positivisme Hukum seperti dari Jhon Austin dengan Analyticaln Jurisprudencenya/Positivismenya. Agak berlainan oleh karena hukum yang berlaku di negara inggris adalah common law tidak tertulis. Di indonesia sendiri pengaruh pemikiran legisme itu sangat jelas dapat dibaca pada Pasal 15 Algemene Bepalingen van Wetgving yang antara lain berbunyi : Terkecuali penyimpangan-penyimpangan yang ditentukan bagi orang-orang Indonesia dan mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Indonesia, maka kebiasaan bukanlah hukum kecuali jika undang-undang menentukannya. [3]
            Kalimat-kalimat tersebut bila dikaji jelas mencerminkan pemikiran hukum yang menjadi dasarnya, yaitu dinamakan hukum haruslah bentuknya tertulis. Hukum merupakan perintah dari penguasa, dalam artian bahwa perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan. Selanjutnya, Austin berkata bahwa hukum adalah perintah yang yang dibebankan untuk mengatur makhluk perpikir, perintah yang dilakukan oleh makhluk berpikir yang memgang dan mempunyai kekuasaan. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetapp dan bersifat tertutup (closed logical system), hukum scara tegas dipisahkan dari keadilan dan tidak didasrkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk.[4]
            Austin membagi hukum itu atas :
1.      Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk menusia;
2.      Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia;
-       hukum dalam arti yang sebenarnya atau hukum yang tepat untuk disebut hukum. Jensi hukum ini disebut juga sebagai hukum positif. Hukum yang sesungguhnya ini terdiri dari :
-    hukum yang dibuat oleh penguasa seperti undang-undang, peraturan pemerintah dan lain-lain;
-    hukum yang dibuat atau disusun oleh rakyat secara individual yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Contohnya : hak kurator terhadap badan/orang dalam kuratele atau hak wali terhadap orang yang berada di bawah perwaliannya.
-       hukum dalam arti yang tidak sebenar-benarnya- hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Jenis hukum ini tidak dibuat atau ditetapkan oleh penguasa/badan berdaulat yang berwenang. [5]

Pada akhirnya hendaknya diperhatikan pokok-pokok ajaran Analytical Juriprudence sebagai berikut :
  1. ajarannya tidak berkaitan dengan soal atau penilaian baik dan buruk, sebab penilaian tersebut berada di luar bidang hukum;
  2. Walau diakui adanya hukum moral yang berpengaruh terhadap masyarakat namun secara yuridis tidak penting bagi hukum. Anustin memisahkan secara tegas antara moral di satu pihak dan hukum di lain pihak;
  3. Pandangan bertolak belakang dengan, baik penganut hukum alam maupun mazhab sejarah;
    1. Hakikat dari hukum adalah perintah. Semua hukum positif adalah perintah dari yang berdaulat/penguasa;
    2. Kedaulatan adalah hal di luarh hukum, yaitu berada pada dunia politik atau sosiologi karenanya tidak perlu dipersoalkan sebab dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataan;
    3. Ajaran Austin kurang/tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.[6]

Selain John Austin, penganut aliran postivisme lainnya adalah Hans Kelsen, Hans Kelsen terkenal dengan konsep hukum murninya (reine rechtslehre, the pure theory of law), yang ingin membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir yang sifatnya nonhukum, seperti kultur, moral, politik, sosiologis, dan sebagainya.
Menurut Hans Kelsen tentang positivisme dinyatakan bahwa “Law is a coercive order of human behavior, it is the primary norm which stipulates the sanction.” (Hukum adalah sesuatu perintah memaksa terhadap perilaku manusia. Hukum adalah kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi).[7]
Karakteristik postivistis dari Hans Kelsen, sangat kental dalam tiga ajarannya yang utama, yang sangat menekankan pengakuannya hanya pada eksistensi hukum positif. Ada tiga ajaran utama dari Hans Kelsen, yaitu :
            a.  Ajaran Hukum Murni (Reine Rechtslehre)
                             Hans Kelsen ingin membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir yang sifatnya nonhukum, Kelsen menolak masalah keadilan dijadikan bagian pembahasan dalam ilmu hukum. Bagi Kelsen, keadilan masalah ideologi yang ideal-rasional. Kelsen hanya ingin menerima hukum apa adanya.
b.   Ajaran Tentang Grundnorm
            Bertolak dari pemikiran yang hanya mengakui undang-undang sebagai hukum, maka Kelsen mengajarkan adanya grundnorm yang merupakan induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum, dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu. Grundnorm memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum.
c.    Ajaran Tentang Stufenbautheorie 
           Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada di puncak piramid, dan semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah bersifat abstrak dan semakin ke bawah semakin konkret. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan.
Menurut Curzon, persamaan antara ajaran hukum murni Kelsen dengan ajaran perintah dari Austin adalah karena:
  1. Kedua-duanya ingin memisahkan hukum dari moral, dan unsur-unsur nonhukum lain.
  2. Kedua-duanya juga menggunakan analisis formal; kedua-duanya hanya mengakui hukum
     positif sebgai satu-satunya hukum.
  1. Kedua-duanya melihat esensi hukum “in terms of an ultimate concept.”
  2. Kedua-duanya menitiberatkan perhatiannya pada struktur dan fungsi negara.[8]

            Berdasarkan hal tersebut, bagi penganut positivisme, analisis mereka melibatkan  pengkosenterasian pada kajian tentang undang-undang sebagai keberadaannya, yakni undang-undang yang diberlakukan bagi warga negate. Jadi bagi kaum postivis, hukum di pahami sebagai berikut:
  1. Hukum adalah seperangkat perintah.
  2. Yang dibuat oleh penguasa tertinggi (negara).
  3. Ditujukan kepada warga masyarakat.
  4. Hukum berlaku local (dalam yurisdiksi negara pembuatnya).
  5. Hukum harus dipisahkan dari moralitas.
  6. Selalu tersedia sanksi eksternal bagi pelanggar hukum.[9]
            Di dalam khazanah ilmu hukum ada dua istilah yang diterjemahkan secara sama ke dalam bahasa Indonesia menjadi negara hukum, yakni Rechtsstaat dan the Rule of Law. Meskipun terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia sama-sama negara hukum, sebenarnya ada perbedaan antara Rechtsstaat dan the Rule of Law. Sebagaimana diidentifikasi oleh Roscoe Pound, Rechtsstaat memiliki karakter administratif sedangkan the Rule of Law berkarakter yudisial.
            Rechtsstaat bersumber dari tradisi hukum negara-negara Eropa Kontinental yang bersandar pada civil law dan legisme yang menganggap hukum adalah tertulis. Kebenaran hukum dan keadilan di dalam Rechtsstaat tertelatk pada ketentuan bahkan pembuktian tertulis. Hakim yang bagis menurut paham civil law (legisme) di dalam Rechtsstaat adalah yang dapat menerapkan atau membuat putusan sesuai dengan bunyi undang-undang. Pilihan pada hukum tertulis dan paham legisme di Rechtsstaat didasari oleh penekanan pada ‘kepastian hukum.
            The Rule of Law berkembang dalam tradisi hukum negara-negara Anglo Saxon yang mengembangkan common law (hukum tak tertulis). Kebenaran hukum dan keadilan di dalam the Rule of Law bukan semata-mata hukum tertulis, bahkan di sini hakim dituntut untuk membuat hukum-hukum sendiri melalui yurisprudensi tanpa harus terikat secara ketat kepada hukum-hukum tertulis. Putusan hakimlah yang lebih dianggap hukum yang sesungguhnya daripada hukum-hukum tertulis. Hakim diberi kebebasan untuk menggali nilai-nilai keadilan dan membuat putusan-putusan sesuai dengan rasa keadilan yang digalinya dari masyarakat. Hakim yang baik di sini adalah hakim yang dapat membuat keputusan berdasarkan nilai keadilan yang digalinya dari tengah-tengah masyarakat. Keleluasaan diberikan kepada hakim untuk tidak terlalu terikat pada hukum-hukum tertulis, karena penegakan hukum di sini ditekankan pada pemenuhan ‘rasa keadilan’, bukan pada hukum-hukum formal.[10]
            Dalam negara hukum, hukum lah yang memegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Yang sesungguhnya memimpin dalam penyelenggaraan negara adalah hukum itu sendiri sesuai dengan prinsip The Rule of Law, and not of Man’, yang sejalan dengan pengertian ‘nomocratie’ yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum, ‘nomos’. Dalam paham negara hukum yang demikian, harus diadakan jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Karena prinsip supermasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat.[11]
B.   Kebijakan Pembentukan Peraturan
1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
         Dunia hukum, dikenal adanya tiga bentuk penuangan keputusan noram hukum, yaitu (i) keputusan yang bersifat mengatur (regeling) menghasilkan produk peraturan (regels), (ii) keputusan hukum yang bersifat menentukan atau menetapkan sesuatu secara administratif menghasilkan keputusanya administrasi negara (beschikkings), dan (iii) keputusan yang bersifat menghakimi sebagai hasil dari proses peradilan (adjudication) menghasilkan putusan (vonnis). Di samping itu, ada pula yang dinamakan sebagai beleidsregel atau aturan kebijakan (policy rules) yang sering disebut juga sebagai quasi peraturan, seperti petunjuk pelaksanaan, surat edaran, intruksi, dan lain sebagainya yang tidak dapat dikatagorikan peraturan, tetapi isinya bersifat mengatur juga.[12]
         Setelah terjadinya perubahan UUD 1945, maka kebijakan pokok mengenai pembentukan dan pembaharuan peraturan perundang-undangan juga harus mengalami perubahan mendasar. Untuk itu, menyusul ditetapkanya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, pada tahun 2004 dibentuklah suatu undang-undang baru yang mengatur mengenai seluk beluk pembentukan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Undang-Undang baru yang dimaksudkan itu adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undanan.
         Penyusunan undang-undang baru ini dinilai sangat penting karena pertimbangan-pertimbangan bahwa (a) pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud bila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan; (b) untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Negara Repulik Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan; (c) selama ini ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan sudah tidak sesuai lagi dengan hukum ketatanegaraan Republik Indonesia. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka pembentukan undang-undang perlu untuk membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baru dan tersendiri dengan mengingat ketentuan-ketentuan Pasal 20, Pasal 20 A ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 22 A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
                     Dalam sistem peraturan perundan-undangan Republik Indonesia, Pancasila diakui sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Hal ini ditentukan dengan tegas dalam Pasal 2 Undang-Undang ini. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan (Pasal 3 ayat (1). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (Pasal 3 ayat (2)). Penempatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuaknya (ayat 3). Selain yang ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3) ini, peraturan yang diatur dalam Undang-Undang ini selanjutnya adalah undang-undang dan peraturan perundang-undangan lain yang berada di bawahnya (Pasal (4)).
      2. Asas-Asas Peraturan Perundang-undangan
                     Menurut ketentuan Pasal 5, maka pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus di dasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Asas-asas yang baik tersebut dapat dibedakan dalam dua katagori. Pertama adalah tujuan asas yang ditentukan pada Pasal 5, dan yang kedua adalah 10 asas yang ditentukan pada Pasal 6 ayat (1). Asas-asas dalam katagori kedua ini dapat kita namakan sebagai asas materil karena menyangkut materi muatan yang harus terkandung dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Sedangkan asas-asas pada katagori pertama lebih menyangkut asas-asas formil yang berkenaan dengan format, sifat, wadah, kelembangaan yang berperan, teknis perumusan, dan sebagainya.[13]
                     Ketujuh asas formil yang ditentuakn dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 meliputi asas-asas :[14]
  1. kejelasan tujuan;
  2. kelembagaan atau oragan pembentuk yang tepat;
  3. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
  4. dapat dilaksanakan;
  5. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
  6. kejelasan rumusan; dan
  7. keterbukaan.

         Sedangkan kesepuluh asas yang bersifat materiil seperti ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1), yaitu asas yang harus terkandung dalam materi muatan setiap peraturan perundang-undangan adalah :[15]
  1. pengayoman;
  2. kemanusiaan;
  3. kebangsaan;
  4. kekeluargaan;
  5. kenusantaraan;
  6. bhinneka tunggal ika;
  7. keadilan;
  8. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
  9. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
  10. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

         Selain asas-asas materiil tersebut, peraturan perundang-undangan tertentu dapat pula berisi asas-asas lain sesuai dengan bidang hukum yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Misalnya, peraturan perundang-undangan di bidang industri dan perdagangan tentu harus mencerminkan pula asas yang berlaku di dunia industri dan perdagangan yang antara lain misalnya mengidealkan nilai-nilai “efisiensi”. Demikian pula peraturan perundang-undangan di bidang-bidang yang lain, tentu harus mencerminkan pula asas-asas yang berlaku dan diidealkan dalam bidang-bidang yang bersangkutan.
3. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
         Materi muatan peraturan perundan-undangan diatur dalam Bab III tentang Materi Muatan, yaitu mulai dari Pasal 8 sampai dengan Pasal 14. Di dalamnya, ditentukan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 atau yang diperintahkan oleh Undnag-Undang untuk diatur dengan undang-undang. Hal-hal yang berkenaan dengan ketentuan lebih lanjut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 meliputi ketentuan mengenai :
-    Hak-hak asasi manusia;
-    Hak dan kewajiban warga negara;
-    Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;
-    Wilayah negara dan pembagian daerah;
-    Kewarganegaraan dan kependudukan;
-    Keuangan Negara.
         Materi lainya dapat menjadi muatan undang-undang adalah hal-hal lainnya yang memang diperintahkan oleh Undang-Undang untuk diatur dengan undang-undang. Dengan demikian, ada materi yang tidak diperintahkan, tetapi karena penting untuk diatur lebih lanjut. Menurut ketentuan Pasal 14, materi muatan mengenai pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah. Artinya, undang-undang juga dapat memuat ketentuan pidana sebagaimana mestinya.[16]
            Setelah 7 (tujuh) tahun berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 maka pada tahun 2011, undang-undang ini diperbaharui dengan dikeluarkanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Adapun perbedaan antara keuda Undang-Undang tersebut tidak jauh berbeda, hanya saja dalam hierarkis peraturan perundang-undangan ada perubahan yang diantaranya, adanya Tap MPR yang berada di bawah Undang-Undang Dasar, selain itu posisi Peraturan Daerah Propisni dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sudah tidak sejajar lagi, yang mana posisi Peraturan Daerah/Kota berada di bawah Peraturan Daerah Porpinsi. Dan pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 adanya Peraturan Desa namun pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Peraturan Desa ditiadakan lagi. 

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berkaitan dengan pandangan aliran hukum positivisme yang mengedepankan pada prinsip hukum itu ada apabila di wujudkan dalam undang-undang, Hukum itu di buat oleh penguasa, selain itu hukum bersifat memaksa. Dalam aliran hukum positivisme  adanya pemisahan antara hukum dengan moral. Selain itu peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada di puncak priamida, dan semakin ke bawah semakin beragam dalam artian hukum itu berjenjang. Berkaitan dengan ini jika dikaitkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia jelaslah bahwa aliran ini diterapkan. Hal ini dapat kita lihat pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
B.     Saran

Melihat pada perkembangan dan kemajuan masyarakat Indonesia hukum juga mengikuti perkembangan masyarakat. Dalam hal ini hukum di Indonesia masih jauh tertinggal  pada perkembangan masyarakat dan kemajuan  zaman. Dikarenakan  masih diberlakukanya produk-produk hukum yang lama dan sistem hukum yang tidak sesuai lagi jika diterapkan pada masyarakat Indonesia pada masa kini. Diharapakn dalam pembentukan peraturan perundang-undangan lebih mengedepankan kepada keseimbangan antara hukum dengan moral.

DAFTAR PUSTAKA
A.   Buku-buku.
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum, Kencana, Jakarta, 2009.

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta Barat, 2008.

Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditiya Bakti, Bandung, 2007.

Moh. Mahfud MD, Membangun  Politik Hukum, Menegakan Konstitusi,  PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010.

Ni’Matul Huda, Lembaga Negara dalam masa Transisi Demokrasi, UII Press, Yogyakarta, 2007.

B.     Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan




[1] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum, Kencana, Jakarta, 2009,  Hlm. 55.

[2] UU. No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.


[3] Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditiya Bakti, Bandung, 2007, Hlm. 56.

[4] Ibid, Hlm. 58.

[5] Ibid, Hlm. 59.

[6] Ibid, Hlm. 60.

[7] Achmad Ali, Op.Cit, Hlm. 56.

[8] Ibid, Hlm. 63.

[9] Ibid, Hlm. 64.

[10] Moh. Mahfud MD, Membangun  Politik Hukum, Menegakan Konstitusi,  PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, Hlm 24-25.

[11] Ni’Matul Huda, Lembaga Negara dalam masa Transisi Demokrasi, UII Press, Yogyakarta, 2007,  Hlm 62.

[12] Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta Barat, 2008, Hlm. 209.

[13] Ibid,Hlm 269

[14] Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

[15] Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

[16] Jimly Asshiddiqie,Op,Cit,Hlm 270

readmore »»  
0 komentar

Posted in